Mandikan
aku bunda
15
july
Di
bawah ini adalah salah satu contoh kisah tragis sekaligus mengharukan. Tanpa
menyampaikan hikmahnya secara eksplisit,saya yakin pembaca sekalian bisa
lengsung menarik benang merahnya. Kisah ini diambil dari milis cetifasi. Kita
simak saja, yuk!?
Seringkali
kita tidak mensyukuri apa yang dimilikinya. Rani, sebut saja begitu namanya.
Kawan kuliah saya ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak
masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di
bidang akademis maupunprofesi yang akan digelutinya.
”Why
not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika
Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan
pendidikan kedokteran.
Berikutnya,
Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi,
meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka.
meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka.
Konon,
nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf
terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat
mengira, apa mereka bermaksud
menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir. Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari
satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir. Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari
satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya
saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil
untuk ditinggal-tinggal? ”
untuk ditinggal-tinggal? ”
Dengan
sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya.
Everything is OK!”
Ucapannya
itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara
profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat
telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang
mengerti.
Kakek-neneknya
selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan
ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan
uang yang banyak.
”Contohlah
ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu
nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika
Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan
permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian
anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik
buat Alif.
Lagi-lagi
bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi
merengek
minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.
minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.
Sungguh
keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya
super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada
keluarga ini.
super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada
keluarga ini.
Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif
menolak dimandikan baby sitter,
menolak dimandikan baby sitter,
”Alif
ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap.
Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.
Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.
”Bunda,
mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan.
Toh,
Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa
pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk,
akhirnya Alif bisa
ditinggal juga.
ditinggal juga.
Sampai
suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.
”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.”
”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.”
Setengah
terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana
lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani,
ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat.
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk
suatu saat memandikan anaknya
sendiri.
sendiri.
Dan
siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.
”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di
tengah jamaah yang sunyi.
”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di
tengah jamaah yang sunyi.
Satu
persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga
kan?”
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga
kan?”
Saya
diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya
mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong.
”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.
mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong.
”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.
Hening
sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut.
”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat.
Rasanya
baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang
meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali
saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba.
Detik
berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya
membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar