MENGENAL
ALIRAN SESAT JARINGAN ISLAM LIBRAL
“Pada
akhir zaman, akan m Mereka berkata menggunakan firman Allah, padahal mereka
telah keluar dari Islam, bagai keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka
tak melewati tenggorokan. Di mana pun kalian jumpai mereka, bunuhlah mereka.
Orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala di hari kiamat.”
KUTIPAN
bernada provokatif di atas terpampang sebagai moto sebuah buku mungil yang judulnya
menyiratkan peringatan keras: Bahaya Islam Liberal. Buku saku setebal 100
halaman itu ditulis Hartono Ahmad Jaiz, 50 tahun, seorang mantan wartawan.
Meski kecil, buku tersebut bisa berdampak besar karena muncul sekelompok anak
muda usia yang bodoh akalnya. mengandung pesan “penghilangan nyawa”.
Moto
itu bukan sembarang untaian kata. Melainkan terjemahan hadis Nabi Muhammad SAW,
yang tersimpan dalam kitab Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari. Mayoritas
kaum muslim menilai hadis hasil seleksi Bukhari memiliki kadar kesahihan amat
tinggi. Jadi, perintah membunuh dalam hadis itu bisa dipahami sebagai kewajiban
syar’i (bemuatan agama) yang bernilai ibadah.
Buku
itu terbit Januari 2002, bersamaan dengan maraknya pemberitaan tentang
komunitas anak muda yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL).
Penempatan hadis riwayat Ali bin Abi Thalib tersebut sebagai moto buku
mengundang pertanyaan: apakah Islam liberal yang dikupas buku itu, dengan
demikian, sudah masuk keriteria kelompok yang dimaksud isi hadis, sehingga
wajib dibunuh?
Sang penulis tak menjawab ya atau tidak. “Itu harus
diputuskan lewat mekanisme hukum,” ujar Hartono. Hadis tersebut, kata alumnus
IAIN Yogyakarta ini, bersifat umum. Karena itu, Hartono menyadari, penerapannya
bisa menimbulkan fitnah dan perselisihan. Maka perlu pelibatan aparat hukum
untuk meredam sengketa. Sesuai dengan kaidah fikih: hukm al-hakim yarfa’u
al-khilaf (putusan pihak berwenang berfungsi menyudahi polemik).
Pada
akhir buku, Hartono menyerukan pengadilan atas Islam Liberal yang ia nilai
“jauh dari kebenaran”. Namun, secara tersirat, ia tetap menyarankan sanksi
bunuh, ketika menutup buku dengan menampilkan kisah Umar bin Khattab yang
membunuh orang yang menolak berhukum dengan syariat Islam. Di antara dosa JIL,
di mata Hartono, juga menolak syariat Islam.
Ibn
Hajar al-Asqalani, dalam bukunya, Fathul Bari –sebuah elaborasi (syarah) atas
Shahih Bukhari– menjelaskan, hadis tersebut diwartakan Ali ketika hendak
menumpas pembangkangan kaum Khawarij (Haruriyah). Yakni kelompok yang sangat
literal memahami Al-Quran dan menilai Ali telah kafir.
Khawarij
dikenal mudah mengafirkan sesama muslim, dan tak segan membunuh muslim yang
mereka vonis kafir. Komunitas jenis inilah yang dimaksud hadis tersebut saat
itu. Pada awal 2002, Hartono memakai hadis itu untuk buku tentang komunitas
liberal, bukan kelompok literal sejenis Khawarij.
Dengan
demikian, berita gempar fatwa mati yang pernah menimpa JIL pada akhir 2002
telah mendapat pengantar “akademik” dari buku Hartono, 11 bulan sebelumnya.
Bila di awal 2002 Hartono mewacanakan eksekusi bunuh terhadap Islam liberal,
menjelang akhir tahun, lontaran itu mengkristal dalam bentuk “fatwa mati”.
Sejumlah
agamawan yang tergabung dalam Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), pada 30
November 2002, berkumpul di Masjid Al-Fajar, Bandung, dan mengeluarkan
pernyataan berisi fatwa itu. Pernyataan FUUI berbunyi, “Menuntut aparat penegak
hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif
melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam, dan para ulama.”
Mereka
terpicu tulisan provokatif Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL, di Kompas,
18 November 2002, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” , yang dirujuk sebagai contoh penghinaan agama.
FUUI menyatakan, “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan
memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati.”
Menurut
Ketua FUUI, KH Athian Ali, fatwanya tak hanya untuk Ulil. “Terlalu kecil jika
kami hanya menyorot Ulil. Kami ingin membongkar motif di balik Jaringan Islam
Liberal yang dia pimpin,” kata Athian. Sepanjang 2002, karena itu menjadi tahun
seruan kematian atas JIL.
Fatwa
itu menyulut kontroversi luas. Sikap FUUI menuai banyak kecaman. Inti kecaman
itu: berbeda pendapat boleh, tapi jangan menebar maut. Cukuplah sejarah memberi
pelajaran pahit: dari Al-Hallaj (Baghdad), Siti Jenar (Demak), Hamzah Fansuri
(Aceh), Farag Faudah (Mesir), sampai Mahmoud Taha (Sudan) yang kehilangan nyawa
karena pikiran berbeda.
Akhirnya
FUUI mengklarifikasi: mereka tak mengeluarkan “fatwa mati”. “Kami hanya
menuntut proses hukum,” kata Athian. Ia membuktikan ucapannya dengan mengadukan
Ulil ke Mabes Polri, sepekan kemudian. FUUI memang tak menyebut kata “fatwa
mati”, tapi Athian menyatakan, dasar hukum sikapnya terhadap JIL sama dengan
sikap kepada Pendeta Suradi. Pada Februari 2001, FUUI terang-terangan memakai
kata “fatwa mati” untuk Suradi.
Komunitas
macam apa sebenarnya JIL ini? Mengapa sampai ada kelompok lain yang menyerukan
kematiannya? Setarakah “bahaya Islam Liberal” dengan jargon “bahaya narkoba”
atau “bahaya laten komunis” yang pelakunya juga kerap diganjar hukuman mati?
GATRA pernah dua kali menggali tuntas komunitas ini: Laporan Khusus Islam
“Liberal Hadang Fundamentalisme” (8 Desember 2001) dan Laporan Utama “Fatwa
Mati Islam Liberal” (21 Desember 2002). Anggapan dan ancaman terhadap JIL itu
agaknya berlebihan.
Kemunculan
JIL berawal dari kongko-kongko antara Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad
Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) di Jalan Utan Kayu 68 H,
Jakarta Timur, Februari 2001. Tempat ini kemudian menjadi markas JIL. Para
pemikir muda lain, seperti Lutfi Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib,
dan Saiful Mujani, menyusul bergabung. Dalam perkembangannya, Ulil disepakati
sebagai koordinator.
Gelora
JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya para
mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya: menyebarkan
gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami memilih bentuk jaringan,
bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik,” tulis situs
islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL lihat: Manifesto Jaringan Islam
Liberal.
JIL
mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru kampanye” Islam
liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said
Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di
antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed
an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).
Jaringan
ini menyediakan pentas –berupa koran, radio, buku, booklet, dan website– bagi
kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Kegiatan pertamanya:
diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan
Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel
dan wawancara seputar perspektif Islam liberal.
Tiap
Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan
para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya
berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat
Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif
yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Dalam
situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya
“ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia. Seperti munculnya
kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara
aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil
kekerasan.
JIL
tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga lugas
mengungkapkan ide-ide “gila”-nya. Gaya kampanyenya menggebrak, menyalak-nyalak,
dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada artikel kontroversial Ulil di
Kompas yang dituding FUUI telah menghina lima pihak sekaligus: Allah, Nabi
Muhammad, Islam, ulama, dan umat Islam. “Tulisan saya sengaja provokatif,
karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif,” kata Ulil.
Dengan
gaya demikian, reaksi bermunculan. Tahun 2002 bisa dicatat sebagai tahun paling
polemis dalam perjalanan JIL. Spektrumnya beragam: mulai reaksi ancaman mati,
somasi, teguran, sampai kritik berbentuk buku. Teguran, misalnya, datang dari
rekomendasi (taushiyah) Konferensi Wilayah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(PWNU) Jawa Timur, 11-13 Oktober 2002.
Bunyinya:
“Kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada warga NU mewaspadai
dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam masyarakat. Apabila pemikiran Islam
Liberal dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi,
baik berupa teguran keras maupun sanksi organisasi (sekalipun dianulir dari
kepengurusan).”
Somasi
dilancarkan Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia,
Fauzan al-Anshari, kepada RCTI dan SCTV, pada 4 Agustus 2002, karena
menayangkan iklan “Islam Warna-warni” dari JIL. Iklan itu pun dibatalkan. Kubu
Utan Kayu membalas dengan mengadukan Fauzan ke polisi.
Sementara
kritik metodologi datang, salah satunya, dari Haidar Bagir, Direktur Mizan,
Bandung. Ia menulis kolom di Republika, 20 Maret 2002: “Islam Liberal Butuh
Metodologi”. JIL dikatakan tak punya metodologi. Istilah ”liberal”, Haidar
menulis, cenderung menjadi ”keranjang yang ke dalamnya apa saja bisa masuk”.
Tanpa metodologi yang jelas akan menguatkan kesan, Islam liberal adalah
”konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan
Islam itu sendiri”.
Reaksi
berbentuk buku, selain karya Hartono tadi, ada pula buku Adian Husaini, Islam
Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta, Juni 2002).
Ada tiga agenda JIL yang disorot: pengembangan teologi inklusif-pluralis
dinilai menyamakan semua agama dan mendangkalkan akidah; isu penolakan syariat
Islam dipandang bagian penghancuran global; upaya penghancuran Islam
fundamentalis dituding bagian proyek Amerika atas usulan zionis Israel.
Buku
lain, karya Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal
(Jakarta, Agustus 2003). Isinya, kumpulan perdebatan Adnin dengan para aktivis
JIL di milis Islam liberal. Energi personel JIL akhirnya memang tersedot untuk
meladeni berbagai reaksi sepanjang 2002 itu. Mulai berbentuk adu pernyataan,
debat ilmiah, sampai balasan mengadukan Fauzan ke polisi. Tapi, semuanya justru
melejitkan popularitas kelompok baru ini.
Menjelang
akhir 2003 ini, hiruk-pikuk kontroversi JIL cenderung mereda. Nasib aduan FUUI dan
aduan JIL terhadap Fauzan ke Mabes Polri menguap begitu saja. Dalam suasana
lebih tenang, JIL mulai menempuh fase baru yang lebih konstruktif, tak lagi
meledak-ledak.
“Tahap
awal yang menggebrak, kami kira sudah cukup. Kini kami konsentrasi mengembangkan
jaringan antarkampus,” kata Nong Darol Mahmada, Wakil Koordinator JIL. Misinya,
membendung laju skripturalisme Islam sejenis Hizbut Tahrir yang merasuki
kampus-kampus umum. Ada 10 kampus di Jawa yang dimasuki jaringan. Agustus lalu,
JIL mengelar SWOT untuk mengevaluasi kinerja dan merumuskan agenda ke depan.
Ramadan
ini, JIL mengisi waktu dengan mengkaji kitab-kitab ushul fiqh klasik ala
pesantren. Seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi’i, Al-Muwafaqat karya
Al-Syatibi, tulisan lepas Najmuddin Al-Thufi dan Jam’ul Jawami’ karya
Al-Subkhi. Acara bertajuk “Gelar Tadarus Ramadan: Kembali ke Islam Klasik” ini
berlangsung di Gedung Teater Utan Kayu. Usai diskusi, acara dilanjutkan dengan
tarawih bersama.
Di
atas segalanya, aksi-reaksi yang mengiringi perjalanan JIL telah menguakkan
kenyataan bahwa JIL mempunyai “konstituen” tersendiri yang justru mendapat
pencerahan spiritual dari Islam ala JIL ini.
Misalnya,
saat berlangsung talk show radio bersama Prof. Hasanuddin A.F. tentang pidana
mati dalam Islam, Desember 2002. Seorang penanya bernama Henri Tan mengeluh
akan keluar lagi dari Islam, bila Ulil diancam-ancam fatwa mati. “Islam model
Ulil ini yang membuat saya tertarik masuk Islam. Kalau model ini mau dimatikan,
lebih baik saya keluar lagi dari Islam,” katanya.
Fakta
serupa muncul dalam bedah buku Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal di
Universitas Negeri Jakarta, Juni 2003. Seorang peserta, sebut saja Djohan,
menyesalkan fatwa mati atas Ulil. “Saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam
justru karena keislaman model Mas Ulil. Dia bukan pendangkal akidah, malah
menguatkan akidah saya,” kata Djohan. Tuduhan bahwa JIL mendangkalkan akidah,
dengan fakta ini, perlu diuji kembali.
Ketika
digelar jumpa pers JIL menanggapi fatwa FUUI, di Utan Kayu, Jakarta, Desember
2002, ada seorang penanggap yang mengaku berislam secara “minimal”, alias
abangan. Tadinya ia merasa terasingkan dari wadah mayoritas umat Islam, tapi
kehadiran JIL seolah merangkulnya, dan mengakuinya sebagai muslim. Ia pun
terdorong meningkatkan kualitas keislamannya.
Lepas
dari beragam kontroversinya, bagaimanapun, ada segmen masyarakat tertentu yang
membutuhkan Islam model JIL dalam merawat spiritualitas mereka. Tentu mereka
bukan hanya kalangan mualaf dan abangan, juga para akademisi, peneliti,
aktivis, dan mahasiswa yang berpikir kritis, pluralis, dan menjunjung
kebebasan. Maka, biarkan JIL melayani konstituennya. (GTR)
Akar Islam Liberal
“Kita
tidak perlu menghiraukan nomenklatur. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan
padanya, marilah kita sebut itu ‘Islam liberal’.” ( Asaf ‘Ali Asghar Fyzee
[India, 1899-1981] ).
PERKENALAN
istilah “Islam liberal” di Tanah Air terbantu oleh peredaran buku Islamic
Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder dan Liberal Islam: A Source
Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Terjemahan buku Kurzman
diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni 2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak
Pustaka Pelajar Yogyakarta, November 2001.
Sebelum
itu, Paramadina menerjemahkan disertasi Greg Barton di Universitas Monash,
berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April 1999. Namun, dari ketiga
buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling serius melacak akar, membuat peta,
dan menyusun alat ukur Islam liberal. Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
juga lebih sering merujuk karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman
sendiri meminjam istilah itu dari Asaf ‘Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim
India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah “Islam liberal” dan “Islam
Protestan” untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang
nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang
berorientasi masa depan, bukan masa silam.
“Liberal”
dalam istilah itu, menurut Luthfi Assyaukanie, ideolog JIL, harus dibedakan
dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya nomenklatur (tata kata) untuk
memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif,
dan dinamis. Dalam pengertian ini, “Islam liberal” bukan hal baru. “Fondasinya
telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam
dimulai,” tulis Luthfi.
Periode
liberasi itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan “liberal age”
(1798-1939). “Liberal” di sana bermakna ganda. Satu sisi berarti liberasi
(pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat itu menguasai hampir
seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi kaum muslim dari cara berpikir
dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Luthfi menunjuk Muhammad
Abduh (1849-1905) sebagai figur penting gerakan libaral pada awal abad ke-19.
Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam
tradisi filsafat Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang
terbagi dalam dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
Ada
dua kelompok yang dikategorikan “musuh” utama Islam liberal. Pertama,
konservatisme yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali
muncul. Kedua, fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik
setelah negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.
Bila
Luthfi mengembalikan semangat liberal pada abad ke-19, aktivis JIL yang lain,
Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Rujukannya Umar bin Khattab.
Dialah figur yang kerap melakukan terobosan ijtihad. Umar beberapa kali
meninggalkan makna tekstual Al-Quran demi kemaslahatan substansial. Munawir
Sjadzali juga kerap merujukkan pikirannya kepada Umar ketika memperjuangkan
kesetaraan hak waris anak laki-laki dan perempuan.
Umar
menjadi inspirator berkembangnya mazhab rasional dalam bidang fikih yang dkenal
sebagai madrasatu ra’yi. Dengan demikian, Sahal menyimpulkan, Islam liberal
memiliki genealogi yang kukuh dalam Islam. Akhirnya, Islam liberal adalah juga
anak kandung yang sah dari Islam.
Manifesto Jaringan Islam Liberal
NAMA
“Islam liberal” menggambarkan prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. Kami percaya, Islam selalu dilekati kata sifat, sebab kenyataannya
Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kami
memilih satu jenis tafsir –dengan demikian juga memilih satu kata sifat– yaitu
“liberal”. Untuk mewujudkan Islam liberal, kami membentuk “Jaringan Islam
Liberal”. Landasan penafsiran kami adalah:
1.
Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
2.
Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian peradaban kemanusiaan universal.
Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian peradaban kemanusiaan universal.
3.
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.
Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.
4.
Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.
Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.
5.
Meyakini kebebasan beragama.
Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
6.
Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. (GTR)
[sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim]
Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. (GTR)
[sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar